Saturday, May 27, 2017

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KOLESISTITIS (RADANG EMPEDU)

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KOLESISTITIS
Diajukan sebagai tugas mata kuliah :
Teknologi Keperawatan


Disusun oleh:
Vina Nirmalasari 1510711020


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
S1 KEPERAWATAN
2017

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat limpahan karuniaNya lah saya dapat menuntaskan makalah untuk mata kuliah Teknologi Keperawatan ini. Saya ucapkan pula terima kasih kepada dosen pembimbing atas bimbingan dan arahannya. Semoga apa yang saya tulis dan paparkan dalam makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat membantu sebagai referensi pembelajaran.
               
                                                                   Depok, 23 Mei 2017



Penyusun
                                                                         

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

 Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Walaupun telah banyak ditemukan obat serta terapi bedah untuk kolesistitis namun, penyakit ini masih memeiliki tingkat kematian yang cukup tinggi terutama pada orang lanjut usia.

1.2. Tujuan
           a. Tujuan Umum
                 Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan kolesistitis

           b. Tujuan Khusus
                1. Mampu memahami definisi kolesistitis
                2. Mengetahui prevalensi kolesistitis
                3. Mampu memahami klasifikasi kolesistitis
                4. Mampu memahami etiologi dan faktor resiko kolesistitis
                5. Mampu memahami manifestasi klinis kolesistitis
                6. Mampu memahami patofisiologi kolesistitis
                7. Mampu memahami pemeriksaan diagnostik dan pemeriksaan penunjang kolesistitis
                8. Mampu memahami penatalaksanaan medis kolesistitis
                9. Mampu memahami komplikasi kolesistitis
                10. Mampu memahami asuhan keperawatan kolesistitis

1.3. Ruang Lingkup
          Dalam penulisan makalah ini, penulis hanya membahas mengenai penyakit kolesistitis dan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit kolesistitis



BAB II
PEMBAHASAN


2. 1 . Definisi

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

Kolesistitis merujul pada inflamasi akut dari kandung empedu. Ini biasanya mengiritasi lapisan kandung empedu. Ini dapat menjadi padat dalam ductus sistik yang menyebabkan obstruksi dan inflamasi dinding kandung empedu, mecetuskan infeksi (Barbara,1998)

Jadi, kolesistitis adalah peradangan yang terjadi pada kandung empedu yag biasanya terjadi karena sumbatan batu empedu yang ditandai dengan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.

2. 2 . Prevalensi 
Sejauh ini belum ada data epidemiologis penduduk di Indonesia, angka kejadian kolesistitis di Indonesia relative lebih rendah dibanding negara-negara barat. Penyakit ini lebih sering terajdi pada wanita dan angka kejadiannya meningkaat pada usia diatas 40tahun. ( Pridadi, 2007 )

2. 3 . Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol. (Sudoyo W. Aru, et al, 2006)

2. 4 Etiologi 
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus)

2. 5 . Faktor Resiko
a. Usia  
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan: 
I. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan. 
II. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan  bertambahnya usia. 
III. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin 
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.  Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan. Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu.44 Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat  mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

2. 6 Manifestasi Klinis Kolesistitis
Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis adalah:
Gejala dan tanda lokal
o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi
(Strasberg SM, 2008)
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut  dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009). 



2. 7 . Patofisiologi

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009).

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat  menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al, 2009)

2. 8 . Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium 
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien, ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di duktus biliaris. ( Takada T, 2007)

2. USG
Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J. , 2009) 

3. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih besar dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas.  Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG. (Kim YK, 2009)


4. Skintigrafi 
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut  (Sudoyo W. Aru, 2009)
Gambar Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit

2.9. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai. (Isselbacher, KJ, 2009)

2. Terapi bedah
Kolesistektomi adalah pengangkatan kantung empedu, hal ini merupakan standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis. Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:
Resiko tinggi untuk anestesi umum
Obesitas
Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis, atau fistula
Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang berat.
Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini. (Bloom AA, 2011)





2.10. Komplikasi
1. Empiema dan hydrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ, et al, 2009).
Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa.(Gruber PJ, et al, 2009).

2. Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu HH, et al, 2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH, et al, 2009).

3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).


4. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009). 


BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Kasus Kolisistitis
Seorang perempuan 52tahun dirawat di RS Keluarga Sehat dengan keluhan nyeri pada bagian perut kanan atas, semakin sakit jika disentuh dan rasnya seperti ditusuk-tusuk, klien mengatakan nyeri berskala 5 dan persisten. Klien tampak meringis dan membungkuk. Klien mengatakan tidak nyaman saat beraktivitas karena merasa nyeri.  Klien juga mengeluh demam sejak 3 hari yang lalu. Klien tampak lemas dan berkeringat. Klien mengatakan merasa mual muntah sehingga tidak bisa makan. Makanan hanya habis seperempat. Setelah anamnesa diketahui bahwa klien pernah menderita batu empedu. Klien mengatakan suka makanan yang digoreng dan bersantan. IMT klien terlihat melebihi batas normal. Klien cemas dengan kondisinya saat ini. TTV TD:130/90 mmHg, N: 95x/mnt, S: 390C, RR:24x/mnt. Hasil laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dan peningkatan CRP. Murphy sign(+), Hasil USG: terdapat cairan perikolestik dan penebalan dinding kandung empedu.

3.1 Asuhan Keperawatan dengan Kolesistitis

   Data Fokus
Data Subjektif (DS)
Data Objektif (DO)
1.      Klien mengeluh nyeri pada perut bagian kanan atas
2.      Klien mengatakan nyerinya semakin sakit jika disentuh dan rasnya seperti ditusuk-tusuk
3.      Klien mengatakan nyeri berskala 5 dan persisten.
4.      Klien mengatakan tidak nyaman saat beraktivitas karena merasa nyeri.
5.      Klien juga mengeluh demam sejak 3 hari yang lalu
6.      Klien mengatakan merasa mual muntah sehingga tidak bisa makan.
7.     
Keluarga mengatkan makanan hanya habis seperempat.
8.      Klien mengatakan pernah menderita batu empedu
9.      Klien mengatakan suka makanan yang digoreng dan bersantan.
1.    Klien tampak meringis dan membungkuk
2.    Klien tampak lemas dan berkeringat
3.    Klien tampak lemas dan gelisah
4.    IMT klien terlihat melebihi batas normal.
5.    TTV
TD:130/90 mmHg, N: 95x/mnt, S: 390C, RR:24x/mnt.
6.    Pengakajian nyeri
P: saat beraktivitas
Q: ditusuk-tusuk
R:perut kanan atas
S: 5
T: persisten
7.    Hasil laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dan peningkatan CRP.
8.    Murphy sign(+),
9.     Hasil USG: terdapat cairan perikolestik dan penebalan dinding kandung empedu.


Analisa data
No.
Data Fokus
Masalah
Etiologi
1.
Data Subjektif (DS)
1.            Klien mengeluh nyeri pada perut bagian kanan atas
2.            Klien mengatakan nyerinya semakin sakit jika disentuh dan rasnya seperti ditusuk-tusuk
3.            Klien mengatakan nyeri berskala 5 dan persisten.
4.            Klien mengatakan tidak nyaman saat beraktivitas karena merasa nyeri.
Data Objektif (DO)
1.         Klien tampak meringis dan membungkuk
2.      TTV
N: 95x/mnt, RR:24x/mnt
3.         Pengkajian nyeri
P: saat beraktivitas
Q: ditusuk-tusuk
R:perut kanan atas
S: 5
T: persisten
4.         Murphys sign (+)
Nyeri akut
Agen pencedera biologis
2.
Data Subjektif (DS)
1.     
Klien mengeluh  demam sejak 3 hari yang lalu
Data Objektif (DO)
2.      Klien tampak lemah
3.      Turgor kulit buruk
4.      Klien tampak berkeringat
5.      Klien tampak lemas dan gelisah
6.      TTV Suhu: 390C
7.      Hasil laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dan peningkatan CRP.

Hipertermi
Penyakit
3.
Data Subjektif (DS)
1.      Klien mengatakan merasa mual muntah sehingga tidak bisa makan.
Data Objektif (DO)
2.      Klien tampak lemas
3.      Klien tampak berkeringat
4.      Turgor kulit klien buruk
Kekurangan volume cairan
kehilangan cairan aktif
4.
Data Subjektif (DS)
1.      Klien mengatakan merasa mual muntah sehingga tidak bisa makan.
2.      Keluarga mengatkan makanan hanya habis seperempat.

Data Objektif (DO)
1.      Klien tampak lemas dan gelisah
2.      Turgor kulit klien buruk
3.      TTV
TD:130/90 mmHg, N: 95x/mnt, S: 390C, RR:24x/mnt.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 
kurang asupan makanan
5.
Data Subjektif (DS)
1.      Klien mengatakan tidak nyaman saat beraktivitas karena merasa nyeri.

Data Objektif (DO)
2.      Klien tampak meringis dan membungkuk
3.      Penkajian Nyeri
P: saat beraktivitas
Q: ditusuk-tusuk
R:perut kanan atas
S: 5
T: persisten
Hambatan Mobilitas fisik
Nyeri


Diagnosa
No.
Diagnosa Keperawatan
1.       
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2.       
Hipertermi b.d Penyakit
3.       
Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
4.       
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan
5.       
Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri

Intervensi
Hari/ Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tindakan
Kamis
20-05-2017
08.30
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan masalah nyeri akut dapat berkurang

Kriteria Hasil:
1.    Skala nyeri 3
2.   
TTV klien dalam batas normal:
-      HR 60-100 kali/menit
-      RR 16-20 kali/menit
3.    Klien tidak terlihat meringis
4.    Klien tidak sesak napas lagi
Mandiri:
1.      Catat karakteristik nyeri, lokasi, intensitas, lamanya, dan penyebaran
2.      Anjurkan pada klien atau keluarga untuk segera menghubungi perawat bila terjadi nyeri
3.      Lakukan managemen nyeri:
·  Atur posisi klien sesuai dengan kenyamanan klien.
·  Memberikan ketenangan pada klien dengan mengurangi rangsang lingkungan dan bekerja dengan tenang
·  Anjurkan dan ajarkan teknik pernapasan dalam
·  Ajarkan distraksi pada saat merasa nyeri
4.      Mengobservasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda komplikasi.
Kolaborasi:
1.      Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian terapi farmakologis anti-nyeri



Hipertermi b.d Penyakit

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2×24 jam masalah keperawatan Hipertermi dapat diatasi, dengan kriteria hasil :

1.      TTV:
TD : 120/90 mmHg
N   : 60-100 ×/menit
RR: 16-22 ×/menit
S  : 36,5 – 37,5  ͦ C
2.      Bibir lembab
3.       Klien tidak mengeluh pusing

1.      Observasi TTV
2.      Observasi dan catat IWL
3.      Monitor warna kulit klien
4.      Monitor intake dan output
5.      Berikan kompres hangat
6.      Anjurkan klien mengenakan pakaian tipis dan menyerap keringat

Kolaborasi :
1.      Kolaborasi dengan dokter pemberian cairan IV
2.      Kolaborasi dengan dokter pemberian terapi obat


Kamis
20-05-2016
16.30
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan masalah ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi.

Kriteria hasil:
1.    Klien tampak segar
2.    Text Box: 19Klien tidak meringis
3.    Minat klien untuk makan meningkat
4.    Membran mukosa klien berwarna merah muda
5.    Turgor kulit : < 3 detik
6.    BB meningkat
7.    Klien tidak mual
Mandiri:
1.      Pemberian vitamin penambah nafsu makan pada klien.
2.      Identifikasi faktor pencetus mual
3.      Berikan makanan bergizi, tinggi kalori, dan bervariasi yang dapat dipilih klien.
4.      Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
5.      Atur dan anjurkan klien untuk membuat pola makan yang teratur dan adekuat

Kolaborasi:
1.      Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan nutrisi klien seperti jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan.
2.      Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan, makanan pelengkap, agar asupan kalori yang adekuat dapat dipertahankan.



Kamis
18-05-2016
17.00
Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2×24 jam masalah keperawatan Kekurangan volume cairan dapat diatasi, dengan criteria hasil :

1.Turgor kulit baik
2.Mukosa bibir  lembab
3.BAB 2×/hari

4.TTV:
TD : 120/90 mmHg
N   : 60-100 ×/menit
RR: 16-22 ×/menit
S  : 36,5 – 37,5  ͦC

5.Tidak ada tanda-tanda dehidrasi

Mandiri :
1.Observasi TTV
2.Catat intake dan output cairan
3.Anjurkan minum air putih 1–2 liter/hari (8–9 gelas/hari); asupan
cairan yang adekuat
4.Observasi kulit kering berlebihan dan membrane mukosa,penurunan turgor kulit.
5.Palpasinadiperifer, temperature kulit,kaji kesadaran, tanda pendarahan

Kolaborasi :
1.Kolaborasi dengan dokter pemberian cairan parenteral

Kamis
18-05-2016
17.30
Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan masalah hambatan mobilitas dapat teratasi.

Kriteria Hasil:
1.    Klien nyaman saat beraktivitas
2.    Klien dapat berjalan dengan normal
3.    TTV normal
RR : 16-22x/mnt
TD : 120/90 mmHg
N   : 60-100 ×/menit

Mandiri:
1.    Kaji aktivitas yang mengakibatkan hambatan mobilitas
2.    Anjurkan klien untuk melakukan distraksi saat nyeri waktu aktivitas
3.    Anjurkan klien untuk membuat periode saat beristirahat dan beraktivitas
4.    Pantau TTV klien sebelum, selama, dan sesudah aktivitas


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada wanita, usia > 40 tahun dan pada  wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu.        
Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat teraba pula massa di kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan leukositosis,. Pemeriksaan USG dapat merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya sampai 95%. Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-emetik dan terapi pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa perawatan dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.

4.2. Saran
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dan paling berharga dalam diri kita. Dengan menjadi sehat kita dapat beraktivitas sesuai rutinitas kita sehari-hari. Maka dari itu pencegahan sebelum terjadinya sakit sangat penting untuk dilakukan bagi semua orang yang menginginkannya mulai dari makan makanan yang sehat, berolahraga secara rutin, menghindari rokok dan alcohol.



Daftar Pustaka
Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. [Diakses pada: 1 Juni 2011]. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep 2009;188(3):325-6. 
Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97. 
Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7. 
Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009. 
Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison: Prinsip – 
Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009.
Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. Jul-Aug 2009;33(4):274-80. 
Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3. 
Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta. 2009.
Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al. Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.